Sebuah Nostalgia Seorang Ibu di Tahun 1958
Aku memang bukan penganut Nasrani, tapi anak laki-laki bawaan suamiku dia penganut agama Kristen. Karto sekalipun masih kecil tapi kata-katanya sering membuatku terheran-heran.
Aku memang gadis desa yang menikah dengan suamiku dengan komitmen aku harus menerima Karto sebagai anakku. Karto adalah anak suamiku dengan istri pertamanya Rebeca, yang meninggal sudah meninggal tiga bulan setelah melahirkan Karto. Setelah enam tahun Karto tinggal bersamaku, adik almarhum Rebeca dari surabaya datang dan mengambil dengan alasan aku sendiri punya anak kecil dan karto sudah bisa masuk kelas 1 SD.
Aku tidak kuasa menahannya karena kenyataan aku sudah punya anak dua dan saat itu sedang hamil tua. Padahal selama enam tahun Karto pun silih berganti dijemput saudara kandung Rebeca ke bandung dan surabaya.
Setiap menjelang akhir tahun suamiku selalu menjemput Karto untuk dibawa ke yogyakarta untuk liburan sekaligus menengok adik-adiknya. Sejak kecil Karto selalu bercerita tentang Tuhan Yesus, maklum memang keluarga besar almarhum Rebeca ibunya Karto memang beragama kristen, mereka berasal dari Manado.
Sampai saat karto berumur tiga belas tahun, waktu itu dia duduk dikelas 1 SMP Surabaya. Karto datang di bulan Desember… seijin suamiku dia mau mencari pohon cemara untuk membuat pohon terang… Ningsih, Kartini, Santosa, Nunung dan Nungrum anakku, seolah sangat gembira mendengar karto mau membuat perayaan Natal, merekapun diajak untuk membantu.
Sungguh heran bahwa anaku menyambut rencana itu dengan semangat. Karto sendiri datang kepadaku sambil bilang : “ Bu… kalu punya uang bikin kacang bawang dan kue ya… kita rayakan natalan bersama tanggal 25 desember malam. Nanti aku yang akan cerita dari buku Alkitab ini… ya bu ya.” Karto bercerita sambil menunjukkan Alkitab bergambar versi anak-anak yang dibawa dari surabaya.
Sekalipun bukan anak kandungku tapi karto memang sudah saya rasakan seperti anak kandung. Begitu juga adik-adiknya. Tak ada yang tahu kalau karti bukanlah anak sekandung. Mereka sangat bangga kalau karto kakaknya datang liburan dari surabaya.
Seolah magnit yang begitu besar, kata-kata Kartopun aku sambut dengan gembira. Dua ayam pelugaraan aku potong, aku masak ayam goreng… sup… sambal goreng… kacang bawang dan beberapa makanan aku siapkan persis saudara-saudara umat muslim merayakan lebaran.
Sebelum hari H Karto mengajari adiknya lagu-lagu rohani… aku mendengarnya dari dapur. Jujur saja aku merasakan kebahagiaan yang begitu dalam, walaupun aku tidak rahi kebahagiaan apakah ini yang aku rasakan. Memang makin besar Karto seperti penerang didalam keluarga, kata-katanya sering membuat aku terperangah dan heran seperti suatu hari Karto bercerita : “Di Surabaya di usia 9 tahun Karto di baptis dia bertanya kapan adik-adiknya dibaptis? Baptiskan tanda dosa kita sudah ditebus bu…”
Aku peluk karto erat-erat… dalam hati aku berkata, Tuhan aku tidak tahu banyak soal agama kristen tapi Karto, kau kirim agar aku dan seisi rumahku mengenalnya.
Tanggal 25 Desember sejak siang hari Karto sebuk menyambung cabang-cabang pohon daun cemara… bagian pangkalnya ditancapkan di pot bunga yang kosong… di ganjal dengan batu. Ningsih dan kartini menggunting karton-karton bekas diberi kertas emas dibuat bentuk bermacam-macam model bintang. Ada yang besar ada yang kecil, lilin yang panjang dipotong pendek-pendek diikatkan pada pohon cemara sebagai pengganti lampu.
Ketika aku ke ruang tengah kulihat Santoso sedang mengatur kursi berbentuk melingkar. Santoso menengok kearahku sambil bilang disuruh mas Karto buat natalan nanti malam. Kulihat bangga sekali dia mendapat tugas itu.
Suamiku pulang dari kantor jam dua siang… melihat kegiatan di rumah dia cuma senyum-senyum. Mungkin dia ingin membahagiakan Karto itu yang aku tangkap dalam benakku. Sore harinya Karti menyuruh adik-adiknya mandi dan berganti baju yang bagus. Karto sendiri kulihat memakai celana panjang dan hem putih lengan panjang… sambil bersiul-siul dia masuk ke kamarku bilang “ bu aku pinjam dasi bapak ya…” aku mengambilnya dan memasangkan sebisanya…” sini biar aku yang memasang” tiba-tiba suamiku muncul di balik pintu. Tangan suamiku terampil sekali menyilangkan dan menalikan dasi.
Jam tujuh malam Karto mengajak adik-adiknya duduk melingkar, lilin lilin kecil diatas pohon cemara didepan sebelah kiri dihidupkan, suasana semarak tiba-tiba muncul. Aku merasakan suasana yang sangat berbeda. Nunung yang masih tiga tahun pun diangkat dan disuruh duduk sendiri, Cuma Ningrum yang dipangku. Aku dan suamiku duduk disudut ruang. Seperti seorang pendeta Karto yang masih berusia 13 tahun berdiri dibelakang sebuah meja kecil menghadap kearahku. Sebuah Alkitab dan lilin besar ditaruh diatas meja. Kebaktianpun dimulai dengan berdoa dan bernyanyi “Slamat-slamat datang Yesus Tuhanku, yang turun dari surga yang rumahmu....”
Karto memimpin kebaktian malam itu benar-benar ia seperti malaikat kecil… sebentar-sebentar dia memperhatikan adiknya.. bahkan ketika Nunung menangis, dengan tenang Karto mengambil dot susunya… “ nah boleh kok sambil ngedot… tapi jangan nakal ya… “
Ditengah kebaktian Karto memimpin lagu natal “ Malam Kudus” saat itu Karto menghampiriku sambul berbisik “Ibu yang menyalakan lilin untuk anak-anak dan bapak yang menyalakan lilin besar ditengah meja. Aku dan suamiku melakukan dengan sukacita”
Setelah acara kebaktian selesai, dan doa makan telah dilakukan Karto berdiri di tengah tengah ruangan mengambil Alkitab sambil berkata bapak…ibu… adik-adik… Setiap tahun dibulan Desember kita akan merayakan natal seperti ini. “Hore…hore… anak-anakku yang lain menyambut dengan kegirangan.”
Inilah pengalaman pertamaku merayakan natal. Saat itulah aku menyadari … karto memang bukan anak kandungku… tapi harus kuakui aku… suamiku… dan anak-anakku … sangat bahagia ketika firman Tuhan dibawakan Karto.
Tak pernah kurencanakan aku dan keluargaku menjadi orang kristen tapi sekarang aku makin yakin bukan aku yang memilih Tuhan Yesus tapi Tuhan Yesuslah yang memilih aku dan keluargaku untuk diselamatkan.
Oktober 2005 - Sahaneosa
No comments:
Post a Comment