Dahulu kala saya memiliki suatu keyakinan - atau lebih tepat lagi, suatu harapan - bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah menikahi seseeorang yang dikehendaki oleh Tuhan.Berlandaskan keyakinan itu saya berharap bahwa penyesuaian hidup berdua akan berjalan relatif mulus. Ternyata saya keliru (sekurang- kurangnya dalam kenyataan hidup pernikahan kami). Kenyataan bahwa Tuhan telah mempersatukan kami tidaklah sekali-kali berarti bahwa kehidupan pernikahan kami akan harmonis. Setiap hari kami dihadapkan dengan situasi-situasi yang menguji keharmonisan pernikahan kami! Setiap saat merupakan arena untuk kami belajar menyesuaikan "kehendakku" dengan "kehendakmu". Ternyata respect dan accept menjadi penting dalam proses mengharmoniskan pernikahan seseorang.
Pada waktu kita terbuai dalam amukan gelombang asmara, mudah bagi kita untuk melihat hal-hal yang menawan serta baik dalam diri pasangan kita. Untuk hal-hal yang menawan dan baik itulah kita memberikan rasa hormat kepadanya. Rasa hormat ini timbul secara alami karena kita memang merasakannya. Kita dapat mengatakan bahwa kita menghormatinya karena, "dia sensitif", atau "dia seorang yang jujur", dan seterusnya. Setelah menikahpun, kita masih dapat mengungkapkan penghargaan terhadap hal-hal yang baik yang kita lihat pada dirinya. Cinta memang mudah tumbuh dengan subur di atas tanah yang penuh dengan hal-hal yang menimbulkan rasa hormat.
Namun demikian, tanah tempat kita berpijak dan melangkah tidak selalu gembur dan menggemukkan tanaman. Adakalanya tanah itu berkerikil dan kering kerontang. Kita mendapatkan hal-hal yang tidak kita sukai dalam dirinya dan hal-hal ini membuat kita mengalami kesulitan dalam merasakan, apalagi memperlihatkan penghargaan kita kepadanya. Di sini saya tidak sedang membicarakan hal-hal atau perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan dosa. Yang saya maksudkan adalah perbedaan-perbedaan yang menyangkut cara berpikir dan kebiasaan hidup. Bukankah salah satu sumber pertengkaran kita adalah perbedaan berpikir dan kebiasaan hidup? Bukankah sering kali pertengkaran timbul karena kita merasa "tidak dimengerti"? Nah, hal- hal inilah yang sedang saya bicarakan yakni perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir dan kebiasaan hidup, yang akhirnya mencetuskan pertengkaran dan membuat kita sukar menghormati pasangan kita lagi.
Pada saat-saat seperti ini, kita ditantang untuk menerimanya, lengkap dengan segala "kelemahannya" (perbedaan-perbedaan itu). Saya menyukai definisi Webster's New World Dictionary yang melekatkan kata-kata "terutama dengan sukarela" pada kata menerima. Menerima dengan terpaksa bisa menyebabkan timbulnya kepahitan hidup, kebencian, rasa tertindas, dan kemuakan. Sebaliknya, menerima dengan sukarela menciptakan suasana kelegaan, kemerdekaan, dan kemandirian. Suasana seperti ini hanya dapat muncul apabila kita bersikap bahwa memang sebenarnya kita dipaksa untuk menerima, namun pada akhirnya kita harus dapat memilih menerimanya dengan seutuhnya.
Saya teringat akan situasi di jemaat Korintus di mana terjadi pelbagai perpecahan dan salah satu sumbernya adalah perbedaan pendapat. Dalam 1 Kor. 8, Rasul Paulus membahas mengenai makan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Sebagian jemaat berkeyakinan bahwa mereka tidak boleh memakan makanan tersebut, namun sebagian lagi berpandangan sebaliknya. Perhatikanlah nasehat saleh dari Rasul Paulus pada ayat 1, "Tentang daging persembahan berhala, kita tahu: 'kita semua mempunyai pengetahuan.' Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun." Rasul Paulus menerangkan bahwa memang pada dasarnya memakan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala tidaklah salah (ayat 4 hingga 6). Namun ia menekankan bahwa yang terpenting bukanlah hal memiliki pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan "apa"-nya, yang terpenting, melainkan hal menerapkan pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan "apa"-nya, yakni apakah kasih menjadi dasar, perantara, dan tujuan penyampaian pengetahuan ini. Tatkala saya merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pernikahan kami, saya menyadari bahwa acap kali saya cenderung menekankan "apa"-nya, yakni saya merasa sayalah yang benar atau sayalah yang memiliki pengetahuan yang benar. Ini bukan saja tidak menyelesaikan masalah, malah makin membakar suasana. Saya berkeyakinan bahwa kasih hanya dapat tumbuh apabila kita sudah menerima pasangan kita seadanya - dengan sukarela. Pertengkaran timbul karena masing-masing merasa benar atau memiliki pengetahuan yang paling tepat, sama seperti yang terjadi pada jemaat Korintus. Ini dapat dan akan terus berlangsung selama kita hidup bersama dengan orang lain. Pada kesempatan ini saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mencoba cara yang dipaparkan Firman Tuhan. Cobalah untuk "menerima, terutama dengan sukarela" barulah kasih akan timbul. Jangan terlalu menekankan pengetahuan yang dapat membuat kita sombong alias enggan untuk merendahkan diri. Setelah melakukan petunjuk surgawi ini, mungkin kita akan sedikit terkejut menyaksikan bahwa tanpa terasa, kita semakin dapat menghargai pandangan-pandangan pasangan kita, alias kita mulai "merasakan atau memperlihatkan hormat" kepadanya. Cobalah dan saksikan hasilnya.
By : Dr. Paul Gunadi
No comments:
Post a Comment